Sembilan Mata Uang Kuno Indonesia di Era Kerajaan

Peradaban Indonesia kuno sudah mengenal sistem mata uang sejak abad ke-9 Masehi, bahkan bisa saja lebih awal. Kehadiran mata uang di Indonesia adalah akibat dari aktivitas perdagangan yang semakin kompleks. Letak geografis kepulauan Indonesia yang strategis menjadikan kepulauan Indonesia sebagai salah satu jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan dunia barat dan timur. Pedagang-pedagang dari berbagai bangsa, terutama dari India, Tiongkok dan Arab melakukan perdagangan di kota-kota  kuno Indonesia dan menjalin hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di berbagai daerah di Indonesia. Dalam hubungan dagang tersebut tentu saja dibutuhkan alat tukar berupa uang.

Sejarah mencatat bahwa mata uang tertua di Indonesia ditemukan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Uang tersebut merupakan alat tukar yang digunakan oleh penduduk kerajaan Mataram Kuno. Sejauh ini, Mataram Kuno merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang menggunakan sistem mata uang lokal, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini menggunakan koin-koin emas dan perak berbentuk kotak sebagai alat tukarnya. Berikut sembilan mata uang tertua di Indonesia yang pernah ditemukan:

Uang Keping Tahil Jawa dari kerajaan Mataram Kuno, Jawa Tengah  (850-860 Masehi)
Seperti yang diuraikan diatas bahwa mata uang di Indonesia pertama kali dicetak di era kerajaan Mataram Kuno yaitu di sekitar tahun 850-860 Masehi. Mata uang Mataram Kuno lazim disebut dengan uang keping tahil Jawa. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal satuan. Koin emas era Mataram Kuno berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja.

Uang Krishnala dari kerajaan Jenggala, Jawa Timur (1042-1130 M)
Setelah terjadi Mahapralaya (kerusakan yang sangat dahsyat) akibat dari letusan gunung berapi di Jawa Tengah, pusat pembangunan di pulau Jawa berpindah ke Jawa Timur yaitu di kerajaan Jenggala (1042-1130 M) dan kerajaan Daha (1478-1526 M). Seperti halnya di Jawa Tengah, mata uang di kerajaan Jenggala dan Daha pun berkembang. Mata uang kerajaan Jenggala dan Daha disebut dengan uang krishnala. Uang Krishnala terbuat dari emas dan perak dan dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung.

Uang "Ma", Jawa Timur (abad ke-12)
Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali termasuk di situs kota Majapahit ini, kebanyakan berupa perkembangan dari dinasti sebelumnya, uang “Ma”, (singkatan dari Māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan “ta” dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segi empat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda “tera” atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segi empat.

Dalam kronik Tiongkok dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin uang "Ma", keping tahil Jawa dan uang Krishnala inilah yang dimaksud oleh kronik Tiongkok tersebut.

Uang Gobog Wayang dari kerajaan Majapahit, Jawa Timur (abad ke-13)

Pada zaman Majapahit, keping koin ini dikenal atau disebut sebagai “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang kotak ditengah karena pengaruh dari koin cash dari Tiongkok ataupun koin-koin serupa lainnya yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin Gobog Wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar (hanya sebagai koin token).

Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Tiongkok ataupun di Jepang sehingga disebut juga sebagai “koin-koin kuil”. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada sekitar tahun 1528, maka mulai muncul kerajaan Banten di Jawa bagian barat. Kerajaan Banten dikenal juga sebagai kerajaan dengan ibukota dagangnya yang semakin ramai.

Uang Dirham dari Kerajaan Samudera Pasai, Aceh (abad ke-14)
Samudera Pasai merupakan salah satu kerajaan Islam pertama di Indonesia yang menguasai ujung utara pulau Sumatra. Mata uang emas dari Kerajaan Samudera Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326 Masehi. Hal ini membuat kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan pertama di Sumatra yang mencetak mata uang. Mata uang Samudera Pasai disebut “Dirham” atau “Mas” dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang 1/2 Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.

Uang Kampua dari Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara (abad ke-14)
Kerajaan Buton dipastikan sebagai kerajaan pertama di Sulawesi bahkan Indonesia Timur yang mencetak mata uang sendiri. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara yang menggunakan koin emas dan perak sebagai alat tukar, Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara, memberi warna sendiri pada sejarah Indonesia. Mereka menggunakan uang berbahan kain tenun sebagai alat tukar. Uang Kerajaan Buton ini disebut Kampua, terbuat dari sehelai tenunan persegi panjang yang ditenun oleh puteri-puteri istana. Corak dan desain Kampua dibuat berbeda setiap tahun untuk mengantisipasi pemalsuan. Satu lembar uang Kampua senilai dengan satu butir telur di masanya.

Uang Kasha dari Kesultanan Banten (abad ke-16) 
Pencetakan mata uang di pulau Jawa bagian Barat pertama kali dilakukan pada masa kesultanan Banten. Mata uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat sekitar tahun 1550-1596 Masehi, sebelum era penjajahan. Bentuk koin Banten terpengaruh oleh pola dari koin Tiongkok yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khas persegi 6 pada lubang tengahnya.

Uang Jinggara dan Kupa dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan (abad ke-17) 
Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut “Jinggara”. Salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selaing itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga yang disebut “Kupa”.

Uang Picis dari Kesultanan Cirebon, Jawa Barat (abad ke-18)
Mata Uang kesultanan Cirebon memiliki kemiripan dengan uang Gobog Wayang Majapahit dan uang Kasha dari Banten. Hal ini disebabkan karena sama-sama terpengaruh oleh mata uang Tiongkok. Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Tionghoa. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya, disebut Picis. Uang koin jenis Picis ini dibuat sekitar abad ke-17. Di sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin yang berbunyi "Cheribon".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapal Kuno Borobudur Sebagai Bukti Nenek Moyang Bangsa Indonesia Adalah Pelaut Ulung

Kerajaan Melayu Salah Satu Kerajaan Awal di Sumatera

Arca Budha Tertua di Indonesia